PERISTIWA MESUJI
PERISTIWA MESUJI.
A.
LATAR
BELAKANG
Sengketa
lahan sampai saat ini masih tetap menjadi fenomena global termasuk tentunya di
Indonesia.Sengketa lahan di Indonesia secara umum dapat dilihat dari beberapa
pendekatan yang terjadi di lapangan yaitu warga,BPN,perusahaan swasta. Adapun
persoalan sengketa lahan lebih dipicu oleh perebutan tanah dan rendahnya
kesadaran warga sekitar lokasi tersebut. Secara konseptual maupun praktis
pemahaman tentang sengketa lahan jika dicermati seringkali terjadi kesalahan. Pada
tataran konseptual, paradigma,pendekatan, dan metodologi yang digunakan selama
ini masih berpijak pada out comes indicators, sehingga kurang memperhatikan
aspek serta sebab-sebab yang mempengaruhinya.
Masyarakat di lihat hanya sebagai korban pasif
dan objek penelitian, dan bukannya sebagai manusia yang memiliki “sesuatu“ yang
dapat digunakan, baik dalam mengidentifikasi kondisi kehidupannya maupun
usaha-usaha perbaikan yang dilakukan oleh mereka sendiri.Pada tataran praktis,
kebijakan dan program pengentasan sengketa lahan belum sepenuhnya menyentuh
akar penyebab sengketa tersebut. Akibatnya, program-program tersebut tidak
mampu menumbuhkan kesadaran masyarakat, sehingga sulit mewujudkan aspek
keberlanjutan dari program penanggulangan lahan tersebut.
Untuk
itu perlu dilakukan koreksi secara mendasar beberapa hal yang menjadi landasan
pengambilan kebijakan pada masa lalu, antara lain : masih bersifat parsial,
berorientasi pada pertumbuhan ekonomi makro, kebijakan yang terpusat, lebih
bersifat karikatif, bernuansa jangka pendek dan tidak struktural,serta
memposisikan masyarakat sebagai objek Untuk itu diperlukan tindakan kebijakan
atau program untuk mengatasi akar persoalan. Pembangunan yang berbasiskan
pemberdayaan merupakan pilihan utama untuk mengatasi persoalan dasar termasuk
masalah sengketa lahan. Program yang berbasiskan pemberdayaan masyarakat harus
dilaksanakan secara multi sektoral, khusus di bidang pertanahan reforma agraria
merupakan salah satu wujud dari kebijakan tersebut.
Reforma agraria melakukan proses pengentasan
ini dengan mengupayakan rakyat memiliki aset berupa tanah yang dapat dikelola
dan di miliki serta mempunyai akses untuk memberdayakan asetnya. Rakyat dalam
hal ini khususnya petani harus mempunyai tanah dan mempunyai akses pada modal,
teknologi, pasar, manajemen dan seterusnya. Selain itu, petani juga harus
mempunyai alat-alat produksi, kapasitas dan kemampuan. Itu semua dapat terwujud
bila dilaksanakan reforma agraria,yang secara garis besar didefinisikan sebagai
land reform dengan salah satu programnya redistribusi tanah(pembagian tanah).
Mungkin yang di alami Desa Seri Tanjung di Provinsi Lampung, serta di Desa
Sodong di Provinsi Sumatera Selatan lebih akrab di panggil Mesuji.kali ini
tidak jauh beda dimana ada suatu kegagalan dalam reforma argaria yang terjadi
di Mesuji yang menjadi perbincangan hangat di masyarakat indonesia dan BPN
sendiri yang menyangkut sengketa lahan warga dan perusahaan.
B.
PENYEBAB PERISTIWA
MESUJI
Peristiwa
di Desa Sungai Sodong dipicu oleh konflik tanah. Dimana pada tahun 1997 terjadi
perjanjian kerjasama antara PT SWA dengan warga, terkait dengan 564 bidang
tanah seluas 1070 ha milik warga untuk diplasmakan. Perjanjian tersebut untuk
masa waktu 10 tahun, setelah itu akan dikembalikan lagi kepada warga. Selama
kurun waktu 10 tahun, setiap tahunnya warga juga dijanjikan akan mendapat
kompensasi. Namun hingga saat ini perusahaan ternyata tidak memenuhi perjanjian
tersebut. Akhirnya pada bulan april 2011 masyarakat Sungai Sodong mengambil
kembali tanah tersebut melalui pendudukan.Tidak juga mengembalikan tanah
tersebut, perusahaan malah menuduh pendudukan tanah warga tersebut sebagai
gangguan.
C.
TANGGAPAN BPN TERHADAP KASUS MESUJI
Badan
Pertanahan Nasional (BPN) tidak tegas dan tidak prorakyat dalam menyelesaikan
sengketa lahan sawit milik warga yang diklaim PT Barat Selatan Makmur
Investindo (BSMI) Mesuji Lampung. Konflik yang terjadi karena tuntutan warga
tidak dapat dipenuhi pihak PT BSMI.
“Warga menuntut 7.000 hektare lahannya lepas dari PT BSMI, tapi BPN tidak menetapkannya. Maka, terjadilah konflik,” kata Dasrul Djabar, salah seorang anggota Komisi III DPR RI, dalam rapat di Mapolda Lampung. Rapat membahas kasus Mesuji Lampung ini digelar bersama Pemerintah Provinsi dan Polda Lampung. Menurut Dasrul, ketidaktegasan BPN sangat dipertanyakan semua pihak untuk menyelesaikan sengketa lahan warga yang terjadi sudah sejak lama. Hal ini terbukti, BPN menyatakan tidak sanggup untuk melakukan pengukuran ulang lahan yang diklaim PT BSMI dan lahan warga.
“Warga menuntut 7.000 hektare lahannya lepas dari PT BSMI, tapi BPN tidak menetapkannya. Maka, terjadilah konflik,” kata Dasrul Djabar, salah seorang anggota Komisi III DPR RI, dalam rapat di Mapolda Lampung. Rapat membahas kasus Mesuji Lampung ini digelar bersama Pemerintah Provinsi dan Polda Lampung. Menurut Dasrul, ketidaktegasan BPN sangat dipertanyakan semua pihak untuk menyelesaikan sengketa lahan warga yang terjadi sudah sejak lama. Hal ini terbukti, BPN menyatakan tidak sanggup untuk melakukan pengukuran ulang lahan yang diklaim PT BSMI dan lahan warga.
D.
TRAGEDI MESUJI DALAM PANDANGAN HAM
Menurut
beberapa kalangan di dalam kasus sengketa lahan perhutanan di Mesuji ini
terdapat banyak sekali pelanggaran HAM. Selain dalam peristiwa pembantaian, di
dalam kehidupan masyarakat sehari-harinya pun banyak hak mereka yang terampas.
Peristiwa itu telah memakan korban jiwa, yang secara otomatis melanggar hak
asasi manusia yang tercantum dalam UUD ’45 pasal 28A. Selain itu, penyerobotan
lahan warga yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan, juga telah merenggut hak
warga untuk hidup tenang dan bertempat tinggal. Karena penyerobotan lahan itu,
warga kini harus mengungsi di tenda-tenda pengungsian yang jauh dari standar
kelayakan hidup manusia.
Perusahaan-perusahaan
yang menjadi sorotan berbagai pihak, disinyalir telah melakukan berbagai
pelanggaran HAM. Menurut kalangan yang tertentu, mereka menyewa dan melatih
orang-orang dan membentuknya menjadi sebuah tim khusus (PAM Swakarsa), pasukan
untuk membela kepentingan mereka. Pasukan bentukan mereka tidak segan-segan
menganiaya warga yang dinilai macam-macam kepada perusahan. Tentu saja ini
sangat meresahkan warga, karena jika warga melawan dan memberikan respon atas
tindak-tanduk perusahaan yang merugikan warga keselamatan mereka terancam.
Bahkan ada isu kuat bahwa aparat juga terlibat dan membacking perusahaah. Hal
ini sangat disayangkan, mengingat aparat seharusnya membela kepentingan warga.
Sementara perusahaan sendiri mengklaim bahwa mereka tidak membentuk PAM
Swakarsa, apalagi meminta bantuan Brimob.
E. PENYELESAIAN
KASUS MESUJI
Sejak
dilaporkannya kasus Mesuji ke DPR, ada beberapa tindakan yang sudah dilakukan
oleh pemerintah. Dengan instruksi dari Presiden, Menko Polhukam Djoko Suyanto
dan Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta
(TGPF) kasus Mesuji yang diketuai oleh Denny Indrayana yang merupakan wakil
Menkum HAM. Tim tersebut akhirnya berhasil mengantongi beberapa fakta baru
mengenai peristiwa Mesuji, hasil dari investigasinya ke lokasi kejadian. Ada
beberapa keterangan yang disampaikan TGPF ke media, yaitu:
1. TGPF
menyimpulkan bahwa video yang menggambarkan peristiwa Mesuji itu bukanlah
rekayasa. Hal ini dikuatkan dengan bukti hasil investigasi mereka, yang ternyata
ada kesamaan tempat antara tempat-tempat di video dengan tempat di lokasi
kejadian. Namun ada pula beberapa tempat yang tidak ditemukan di Sodong. Bahkan masyarakat sekitar sendiri banyak yang tidak
mengenali tempat terjadinya peristiwa sadis tersebut.
2. Pada
tanggal 30 Desember 2011, TGPF memanggil perwakilan dari tiga perusahaan yang
ada di tempat kejadian, di kecamatan Mesuji. Tiga perusahaan itu adalah PT.
Silva Inhutani, PT Sumber Wangi Alam, dan PT. Barat selatan makmur investindo.
3. Pada
hari yang sama, setelah melakukan pertemuan dengan pihak perusahaan, TGPF
segera mendiskusikan hasilnya dengan pihak pembuat kebijakan, diantaranya Badan
Pertanahan Nasional, Kehutanan, dan Kepolisian.
Selain
itu, investigasi lain juga dilakukan oleh komisi hukum DPR dipimpin oleh wakil
Komisi III, Aziz Syamsuddin. Investigasi tidak hanya dilakukan di Mesuji dan
Sodong, namun juga daerah-daerah lain yang juga memiliki konflik pertanahan.
Fokus penyelidikan mereka adalah mengenai masalah HTI (Hutan Tanaman Industri),
karena ternyata banyak HTI areal kehutanan yang diberi ijin oleh perhutanan,
tapi tidak digunakan untuk tanaman hutan, tapi tanaman sawit dan singkong, yang
jelas-jelas hal tersebut menyalahi aturan. Sedangkan di Mesuji dan Sodong
sendiri masalah utamanya adalah mengenai lahan plasma yang tidak diberikan oleh
perusahaan kepada masyarakat yang tidak sesuai dengan yang diperuntukkan, yaitu 7000 hektar.
Aslinya
banyak pihak yang mendesak agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan
reformasi agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Direktur Program Imparsial,
Al Araf menilai pembaharuan dan reformasi agraria bisa menjadi jalan keluar
konflik kekerasan di dalam sektor agraria tersebut. Menurut Al Araf di dalam
detikcom, konflik dan kekerasan dalam sektor agraria seperti di Mesuji dan Bima
akan terus berlangsung sepanjang pembaharuan agraria dan reformasi agraria yang
menjadi mandat TAP MPR No 9 tahun 2001 tidak dijalankan pemerintah. Dewan
Perwakilan Daerah juga mendesak pemerintah agar menata kembali kebijakan
reformasi agraria. Ketua DPD Irman Gusman di dalam Kompas.com mengatakan
kebijakan tersebut harus berpihak kepada petani dan kelompok tani harus
diterapkan secara sistematis. Irman mengungkapkan, pada masa Kabinet Indonesia
Bersatu (KIB) I, sebenarnya telah dirancang program land reform yang meliputi lahan seluas 1,8 juta hektar.
F. KESIMPULAN
Dari
berbagai kondisi yang telah diuraikan maka dapat diambil beberapa kesimpulan
yaitu:
1. Dukungan
reforma agraria terhadap kasus Mesuji merupakan keberhasilan pemberdayaan
masyarakat di bidang pertanahan sangat diperlukan sehingga modal penting
kepemilikan ( property right ) terhadap aset/tanah yang dimiliki oleh
masyarakat akan dapat dimanfaatkan sebagai modal suatu usaha perekonomian
melalui pemberian berbagai akses produksi dan ekonomi.
2. Untuk
menjaga dan mengawal program pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan dalam
kasus mesuji secara berkelanjutan diperlukan pola kemitraan yang saling
menguntungkan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, perbankan dan dunia usaha.
G. SARAN
Saran
kami hendaknya dilakukan melalui pengkajian yang matang dan terencana dengan
jelas dalam masalah ini, dengan dasar hukum, peraturan dan petunjuk pelaksanaan
yang juga jelas, serta dibarengi dengan perbaikan-perbaikan dan jika perlu
melalui perubahan yang menyeluruh terhadap UUPA. Jika tidak, reformasi agraria
kali ini, akan kembali berada dalam bayang-bayang konflik pertanahan atau
bahkan akan menjadi pintu munculnya konflik-konflik pertanahan baru yang dimana
pemberdayaan masyarakat tentang pertanahan tidak akan berjalan dengan baik
sesuai harapan untuk kesejahteraan rakyat dan pemberdayaan masyarakat tentang
pertanahan.
Komentar
Posting Komentar